This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 16 Januari 2012

Sigmund Freud lahir di Freiberg, sebuah kota kecil di Moravia, pada 6 Mei 1856. Ayahnya adalah pedagang wol yang mempunyai pemikiran tajam dan rasa humor yang baik. Sedangkan ibu Freud adalah istri kedua, wanita yang lebih muda 20 tahun dari suaminya, serta pribadi yang penuh semangat.[iii] Di dalam keluarga, Freud menempati posisi sebagai anak pertama yang mendapatkan limpahan kasih sayang ibunya. Sisi ego yang membentuk identitas dan persepsi dalam diri Freud pun mulai terbangun sejak masa kecil ini karena limpahan dan perhatian dari anggota keluarganya. Sebagai anak yang cerdas luar biasa, penyaluran bakat dan minat Freud mendapatkan tanggapan positif dari anggota keluarga dekatnya.
Dalam catatan hariannya, dia sendiri menuliskan: “At the Gymnasium I was at the top of my class for seven years: I enjoyed special privileges there, and was required to pass scarcely any examination.”[iv] Freud lulus dengan predikat summa cum laude pada perjalanan awal pendidikan. Selain pengalaman dalam lingkungan keluarga, pengalaman awal sekolah Freud pun telah membentuk ego dan sisi teleologis atau harapan-harapan tentang masa depan pribadinya. Pembentukan ego Freud semakin kuat dipengaruhi pencapaian prestasinya ketika kecerdasan dan bakatnya di sekolah memeroleh respon di rumah. Ego yang dimaksud adalah ego dalam khazanah teori psikologi Jung, khususnya tentang struktur kepribadian manusia. Di dalam teorinya, Jung memandang kepribadian manusia terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun saling berinteraksi satu sama lain.[v] Struktur kepribadian itu adalah kesadaran (ego), ketidaksadaran pribadi (kompleks), dan ketidaksadaran kolektif (arketip).
Freud mengalami perlakuan yang istimewa pula saat dia berada di antara keluarga besarnya di rumah. Anggota keluarganya menyediakan ruang baca dan kamar makan pribadi bagi Freud, dan bahkan bersedia memindah piano yang dianggap mengganggu konsentrasi Freud saat belajar. Sikap yang diberikan oleh anggota keluarganya tentu saja berdampak dalam perkembangan kepribadian Freud kecil. Freud sadar akan dirinya yang cerdas sehingga berani untuk menentukan tujuan dalam hidupnya secara mandiri.
Kedua orang tuanya memberikan kebebasan penuh pada Freud untuk menentukan jalan hidup karirnya. Di dalam atmosfer yang liberal ini, Freud muda berkembang penuh sebagai pribadi yang mempunyai idealisme dan mimpi-mimpi. Langkah-langkah dan pilihan-pilihan yang dibuat Freud, kemudian, menunjukkan dirinya sangat dipengaruhi sisi kasualitas atau pengalaman masa lalu yang telah dialaminya di tengah keluarga. Sisi kasualitas merupakan sebuah sudut pandang yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sekarang adalah akibat atau hasil pengaruh dari keadaan-keadaan atau sebab-sebab [pengalaman-pen.] sebelumnya.[vi]
Secara perlahan, pada titik ini pula, sisi self yang merupakan tujuan hidup atau tujuan yang terus menerus berusaha dicapai manusia terbentuk dalam diri Freud. Self mendorong diri manusia untuk terus berusaha mencapai keseimbangan dan keutuhan dirinya. Sisi self secara bertahap mengarahkan dan memengaruhi kepribadian Freud. Secara nyata, dia sangat menikmati pengalaman bermain sepatu roda, berjalan-jalan di luar rumah, dan berenang. Dari sana, dia berelasi dengan orang-orang baru dan teman-teman sebayanya sehingga dapat saling berbagi pengalaman sebagai anak muda. Ada dorongan untuk mengalami perjumpaan dengan orang lain untuk berbagi gagasan atau perasaan. Kenyataan ini menunjukkan pribadi Freud yang tumbuh sebagai pribadi yang memiliki keseimbangan dalam sikap ekstravert maupun introvert. Sikap ekstravert menyoroti aspek diri Freud yang berusaha keluar dari dirinya dan berani membangun relasi dengan orang lain secara akrab.[vii] Sedangkan, sisi introvert menunjukkan sisi diri Freud yang sanggup masuk ke dalam diri untuk berefleksi dan berjumpa dengan diri sendiri.[viii] Sikap yang kedua ini kelak akan lebih ditemukan dalam masa-masa berkarya Freud, ketika dia mengalami kesepian dan dapat merefleksikannya, juga saat dia memutuskan untuk menganalisis dirinya sendiri.
Masa muda Freud masih dipenuhi dengan berbagai pengalaman yang menarik karena masa ini merupakan masa eksplorasi baginya. Salah satu yang menarik dibahas adalah ketertarikannya untuk bergabung dan menjadi bagian dari korps tentara. Ketertarikan itu ada kaitannya dengan aspek teleologis dalam teori psikologi Jung. Aspek teleologis yang dimaksud di sini adalah sudut pandang yang mencermati manusia menurut ke mana dia pergi, bukan di mana ia telah berada.[ix] Sisi teleologis Freud memberikan gambaran tentang sosok gagah dan heroik dari seorang tentara. Bagian teleologis ini juga muncul karena pada masanya banyak anak-anak muda pria mengidentifikasikan diri mereka dengan sosok seorang tentara.

ANALISIS KEPRIBADIAN SIGMUND FREUD DENGAN TEORI PSIKOLOGI ANALITIK CARL GUSTAV JUNG


Pada mulanya, ketika saya belum mengetahui dunia psikologi, nama yang selalu muncul saat mendengar psikologi adalah Sigmund Freud. Nama Freud menjadi nama yang pertama kali muncul karena nama itulah yang kerap saya dengar ketika orang-orang memperbincangkan psikologi. Karena rasa penasaran dan keingintahuan pada Freud, saya memutuskan membaca biografinya di Seminari Mertoyudan. Hasilnya, saya sama sekali tidak paham tentang isi uraian yang saya baca karena biografi itu ditaburi kosa kata psikologis yang tidak familiar. Itulah pengalaman pertama saya bersentuhan dengan psikologi dan Sigmund Freud.
Pengalaman kedua bersentuhan dengan psikologi adalah pengalaman octiduum
dengan P. Siegfried Zahnweh, SJ di Rumat Retret Sangkal Putung, Klaten. Dalam retret sebagai persiapan pengucapan kaul pertama itu, P. Zahnweh, SJ mensistesiskan teori psikologi Jung tentang mimpi dan spiritualitas Ignatian dalam membimbing saya. Rasa ingin tahu mendorong saya untuk bertanya pada beliau tentang cara pendampingannya dalam retret. P. Zahnweh, SJ, dengan senang hati, menjelaskan sedikit tentang Carl Gustav Jung dan memberikan judul buku referensi yang dapat menjadi acuan untuk mempelajari teori Jung lebih dalam. Pada momen istimewa ini, saya belajar tokoh baru dalam dunia psikologi, yakni Carl Gustav Jung.
Dari dua pengalaman ini saya memeroleh dua nama yang senantiasa akan terus saya ingat dalam benak saya karena setiap nama mewakili pengalaman yang berkesan. Karena itulah, sebelum masuk STF Driyarkara, saya hanya mengenal dua nama besar itu, Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung. Saya tidak mengetahui nama-nama lain selain Freud dan Jung. Kemudian, saya mulai belajar Psikologi Kepribadian di STF Driyarkara dan menemukan kenyataan bahwa ternyata, terdapat banyak nama psikolog yang belum saya kenal. Saat itulah saya mengalami ketercengangan sementara, “Oh, ini toh yang namanya psikologi.” Saya mulai belajar tentang banyak hal dalam psikologi lewat mata kuliah Psikologi Kepribadian. Meskipun telah mengetahui nama dan teori baru, saya tetap terkesan dengan dua nama yang saya kenal pertama kali, Freud dan Jung. Dua nama ini yang menjadi landasan atau pondasi awal perkembangan psikologi.
Keterkesanan saya terhadap Freud dan Jung serta teori mereka mendorong saya untuk mengetahui lebih banyak tentang pribadi dan alam pikiran mereka. Saat mulai mencermati jejak-jejak sejarah psikologi, khususnya sejarah hidup Freud dan Jung, saya mendapatkan data sejarah yang mengungkapkan perjumpaan kedua tokoh besar psikologi itu mulai 1906, lewat surat maupun pertemuan pribadi.Awalnya, mereka berdua memandang satu sama lain sebagai rekan diskusi, teman kerja, dan sahabat. Namun, dalam perjalanan waktu, terjadi perpecahan di antara mereka karena perbedaan pandangan dalam teori psikologi. Freud cenderung membaca manusia sebagai pribadi yang dipengaruhi oleh pengalaman seksualnya (panseksualisme). Pemikiran Freud ini tidak dapat diterima Jung karena Jung mengembangkan gagasan tentang psikologi analitik dengan penggabungan unsur teleologis dan kasualitas dalam diri manusia.
Perjumpaan dan perpisahan kedua tokoh ini adalah peristiwa bersejarah yang menarik dalam dunia psikologi. Karena itulah, ketika mendapat tugas pembuatan makalah ini, saya tergerak untuk menghidupkan kembali perjumpaan Freud dan Jung. Perbedaannya dengan pertemuan mereka di masa lalu, dalam makalah ini perjumpaan mereka hanyalah sebuah perjumpaan imajiner yang terjadi dalam kontemplasi pribadi saya. Dalam perjumpaan imajiner ini, Jung menganalisis kepribadian Freud dengan teori psikologi analitiknya. Saya cenderung memilih posisi teori Jung menganalisis Freud daripada sebaliknya karena saya tertarik, kagum, dan setuju dengan jalan pemikiran psikologis Jung. Apalagi, teori Jung juga saya alami sebagai teori psikologi yang dapat disintesiskan dengan spiritualitas Ignatian, seperti yang saya alami ketika menjalani octiduum. Makalah ini membawa saya mengenang kembali pengalaman sakral retret sekaligus sebagai pembelajaran analisis psikologi kepribadian.